Hukum Meninggalkan Shalat
Jumat di Luar Negeri
Pada hari
Jumat, sekali dalam seminggu
umat Islam diwajibkan melakukan
shalat Jumat. Kewajiban ini bersifat fardhu ain.
Perintah shalat Ju’mat
berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: "Wahai
orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan sholat pada hari ]umat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(QS. al-jumu'ah:
9)
Rasulullah bersabda, yang
artinya: "Mendatangi shalat jum’at wajib atas setiap orang baligh" (HR. Nasai dariKhafshah ra.)
Praktik shalat Jumat
secara umum sama dengan
shalat-shalat yang lain, kecuali
beberapa persyaratan khusus. Shalat Jumat terdiri dari dua rakaa, dilakukan secara
berjamaah dengan jumlah peserta minimal
(40) empat puluh orang, dan didahului khotbah
dua kali.
Oleh sebab
itu, untuk mengikuti shalat
Jumat, seseorang harus menghadiri masjid jami'.
Aturan pelaksanaan shalat
Jumat tidak sebebas
sholat fardhu yang lain. Kita
tidak boleh melakukan shalat Jumat sendirian di dalam rumah, rnisalnya.
Keharusan tersebut sudah barang tentu menyulitkan
sebagian orang karena alasan-alasan tertentu yang tidak memungkinkannya menghadiri
masjid'. Oleh sebab itu, kewajiban shalat Jumat
tidak berlaku bagi orang sakit
dan musafir. Untuk musafir ada persyaratan jarak yang ditempuh, harus mencapai
masafah al-qashr, jarak meng-qashar shalat, yaitu 90 km menurut sebagian ulama. Dengan
catatan bepergiannya bersifat
mubah ( diperkenankan agama), dan sudah berangkat
sebelum fajar terbit (Al-
Madzahib Al-Arba'ah: I, 383,
al-Hawasyiy al-Madaniyyah: II, 56).
Dalam terrninologi
Iikih, dispensasi tersebut
dinamakan rukhshah. yaitu perubahan
hukum dari sulit menjadi mudah
karena adanya udzur Sedangkan sebab terjadinya hukum asal tetap berlaku (Thariqah al-Hushul.40). Salah satu
udzur penyebab timbulnya
rukhshah adalah bepergian ( al-safar). Di tengah perjalanan
setiap orang pasti mengalami kepayahan, meskipun dalam kadar
yang berbeda-beda ( al-safar qith'ah
min al-'azhab) Padahal untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
tidak bisa lepas dari bepergian.
Sangat dimungkinkan dan dalam
kenyataannya sering terjadi, seseorang masih
berada dalam perjalanan ketika
waktu shalar Jumat telah tiba.
Dari sisi lain, pemberian dispensasi di atas
sejalan dengan salah satu karakteristik agama Islam, yaitu
'adam al-khara;, dalam
artian tidak ada yang memberatkan atau menyulitkan dalam pengamalan ajaran- ajarannya. Sebagai ganti shalat Jumat, musafir dapat mengerjakan shalat Zhuhur seperti
biasa.
Kebalikan dari musafir
adalah mukim. Status musafir menjadi hilang apabila ia niat bermukim selama
empat hari. Jika seseorang dari Semarang pergi ke Surabaya lalu niat
menginap di hotel selama
lima hari misalnya. maka tidak
berlaku lagi baginya dispensasi bepergian (Rukhshah al-safar). Lain halnya kalau hanya dua atau tiga hari (Al-Fiqh
al- Tslami, 1287).
Pengertian bermukim (al-iqamah)
yang mewajibkan jum’atan tidak mengharuskan seseorang
menetap atau berdomisili
pada suatu tempat untuk selamanya, yang
dalam terminologi fikih disebut al-istithan
atau al-tawatthun. Bertempat tinggal di asrama, hotel atau rumah sanak keluarga Dalam waktu tertentu,
untuk suatu ketika
kembali lagi ke kampong Halaman sudah dianggap
bermukim dan menggugurkan
status sebagai Musafir, asalkan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan di atas, misalnya mencapai empat hari (Al-Madzahib al-Arba'ah:
I, 382).
Untuk itu,
tujuan saudara berada
di luar negeri perlu Diperjelas : Apakah sebagai
wisatawan, mengunjungi saudara, bekerja, ataukah untuk kepentingan studi. Lalu
dipertegas pula berapa lamanya tinggal di
sana. Kalau umpamanya menetap selama
berbulan-bulan atau bertahun- tahun untuk studi/kerja sudah barang tentu wajib jum’atan. Bila menengok Saudara satu atau dua
hari, jum’atan tidak wajib. Ataukah
untuk sebuah Kebutuhan yang sewaktu-waktu bila sudah beres,
tanpa mengetahui Secara persis kapan waktunya,
langsung pulang kembali. Untuk kasus Terakhir , selama dalam
masa delapan belas hari, jumatan boleh ditinggalkan.
Oleh : KH.MA.Sahal Mahfudh. (buku Dialog Problematika
Umat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar