Jumat, 22 Januari 2016

Hukum Meninggalkan Shalat Jumat di Luar Negeri



Hukum Meninggalkan Shalat Jumat di Luar Negeri
Pada  hari  Jumat, sekali dalam seminggu   umat   Islam diwajibkan   melakukan   shalat Jumat.  Kewajiban  ini bersifat fardhu  ain.
Perintah shalat Ju’mat berdasarkan  firman Allah:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 Artinya:  "Wahai orang-orang yang  beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari ]umat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
(QS.   al-jumu'ah:  9)
Rasulullah bersabda, yang artinya:  "Mendatangi shalat jum’at wajib  atas setiap orang baligh"  (HR. Nasai dariKhafshah ra.)
Praktik  shalat Jumat  secara umum sama dengan  shalat-shalat  yang lain, kecuali beberapa persyaratan khusus. Shalat Jumat terdiri dari dua rakaa, dilakukan secara berjamaah  dengan jumlah peserta  minimal  (40) empat  puluh  orang, dan didahului  khotbah  dua kali.
Oleh  sebab  itu, untuk  mengikuti  shalat  Jumat,  seseorang harus menghadiri  masjid jami'.  Aturan pelaksanaan  shalat Jumat  tidak  sebebas  sholat fardhu yang lain.  Kita tidak boleh melakukan  shalat  Jumat sendirian di dalam rumah,  rnisalnya.
Keharusan tersebut  sudah barang tentu  menyulitkan  sebagian orang  karena  alasan-alasan tertentu yang tidak memungkinkannya menghadiri  masjid'. Oleh sebab  itu, kewajiban  shalat Jumat  tidak  berlaku bagi orang sakit dan musafir. Untuk musafir ada persyaratan jarak  yang ditempuh, harus   mencapai  masafah al-qashr,  jarak meng-qashar shalat, yaitu 90 km menurut sebagian ulama.  Dengan  catatan  bepergiannya   bersifat  mubah ( diperkenankan    agama), dan sudah  berangkat   sebelum  fajar terbit  (Al- Madzahib Al-Arba'ah:  I, 383, al-Hawasyiy  al-Madaniyyah: II, 56).
Dalam  terrninologi  Iikih,  dispensasi   tersebut   dinamakan   rukhshah. yaitu perubahan  hukum  dari sulit menjadi mudah karena  adanya udzur Sedangkan   sebab terjadinya hukum  asal tetap berlaku  (Thariqah al-Hushul.40). Salah   satu  udzur  penyebab   timbulnya   rukhshah adalah  bepergian ( al-safar). Di tengah perjalanan  setiap orang pasti mengalami kepayahan, meskipun   dalam kadar  yang  berbeda-beda   ( al-safar   qith'ah  min al-'azhab) Padahal untuk  memenuhi  kebutuhan hidupnya, manusia tidak bisa lepas dari bepergian.  Sangat  dimungkinkan dan dalam kenyataannya  sering terjadi, seseorang  masih  berada  dalam perjalanan  ketika  waktu   shalar Jumat  telah tiba.
Dari sisi lain, pemberian dispensasi  di atas  sejalan dengan salah satu karakteristik  agama Islam, yaitu  'adam al-khara;,   dalam artian   tidak ada yang  memberatkan atau menyulitkan dalam  pengamalan  ajaran- ajarannya.  Sebagai ganti shalat Jumat,  musafir dapat mengerjakan  shalat Zhuhur   seperti  biasa.

Kebalikan dari musafir adalah mukim. Status musafir menjadi hilang apabila ia niat bermukim selama empat hari. Jika seseorang dari Semarang pergi ke Surabaya lalu niat menginap  di hotel  selama  lima hari misalnya. maka tidak  berlaku lagi baginya dispensasi bepergian (Rukhshah al-safar). Lain halnya kalau hanya dua atau tiga hari  (Al-Fiqh  al- Tslami,  1287).
Pengertian bermukim (al-iqamah) yang mewajibkan jum’atan tidak mengharuskan  seseorang  menetap atau berdomisili  pada  suatu  tempat untuk selamanya, yang dalam terminologi  fikih disebut  al-istithan  atau al-tawatthun. Bertempat  tinggal di asrama, hotel  atau rumah sanak keluarga Dalam waktu   tertentu,   untuk   suatu  ketika  kembali  lagi ke kampong Halaman sudah  dianggap  bermukim dan  menggugurkan status  sebagai Musafir, asalkan  sesuai  dengan  ketentuan-ketentuan   di atas, misalnya mencapai  empat hari (Al-Madzahib  al-Arba'ah:  I, 382).
Untuk   itu,  tujuan   saudara   berada  di luar  negeri  perlu Diperjelas : Apakah sebagai wisatawan, mengunjungi saudara, bekerja, ataukah untuk kepentingan studi. Lalu dipertegas  pula berapa lamanya tinggal di sana. Kalau umpamanya  menetap selama berbulan-bulan  atau bertahun- tahun untuk   studi/kerja sudah  barang tentu wajib jum’atan. Bila menengok Saudara satu atau dua hari, jum’atan tidak  wajib. Ataukah untuk  sebuah Kebutuhan yang sewaktu-waktu  bila  sudah  beres,  tanpa  mengetahui Secara persis kapan  waktunya,  langsung pulang  kembali. Untuk  kasus Terakhir , selama dalam masa delapan belas hari, jumatan boleh ditinggalkan.
Oleh : KH.MA.Sahal Mahfudh. (buku Dialog Problematika Umat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar